Skip to main content
pemain orkestra dan pemain marching band(drum corps)

bayangkanlah suatu konser yang menampilkan pertunjukkan orkestra. 10 menit sebelum konser dimulai, kamu harus sudah duduk di tempatmu. oh ya, ini pengetahuan umum. kadang malah 30 menit. jika lewat, kamu tidak akan diperbolehkan masuk, hanya boleh masuk saat pergantian lagu, karena dikhawatirkan akan mengganggu proses persiapan atau jalannya orkestra.
kamu pun bercengkrama bersama teman, membicarakan repertoar-repertoar yang akan dimainkan atau pemain biola ganteng yang kebetulan tadi lewat. tak terasa, lampu pun mulai diredupkan. suasana sunyi. kamu tahu, itulah saatnya untuk diam dan tenang karena konser akan segera dimulai.
satu persatu pemain masuk sambil membawa alat(kecuali cello, tuba, dan timpani--tentu saja--) dan partitur, sampai seluruh pemain masuk, barulah masuk konduktor yang berjas ekor panjang. dia membungkuk hormat kepada penonton lalu berbalik badan. membuka partitur di hadapannya, lalu mulai memimpin jalannya orkestra.
magis!
fantastis!
indah!
itu yang ada di kepalamu, kamu begitu takjub dengan penghayatan si konduktor dan kesempurnaan musik yang dibawakan oleh pemain. flawless! kira-kira seperti itu, tapi kamu tak boleh tepuk tangan atau bersorak--tentu saja--, sekali lagi ini sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa di dalam suatu pertunjukkan orkestra tidak boleh ada tepuk tangan, sorak, atau apapun selama lagu berlangsung.
akhirnya lagu pertama pun selesai, konduktor berbalik badan dan membungkuk hormat tanda terima kasih. kamu dan seluruh penonton konser menyambut dengan tepuk tangan meriah, serta mata yang seolah berkata, "ayo! kami mau lagi!"
konser berlangsung mulus sampai repertoar terakhir selesai dibawakan, pun salam dari konduktor maupun pemain solo yang terdengar jenaka namun begitu tertata.
pembawa acara pun menutup konser, kamu dan seluruh penonton bangkit dari kursi, dengan tidak membawa sampah apapun karena tidak diperbolehkan membawa makan dan minum, keluar gedung sambil berbagi kesenangan dengan teman atas konser yang berlangsung sukses tadi.
indah bukan?

sekarang, bayangkanlah suatu pertunjukan marching bang, contohnya saja GPMB(Grand Prix Marching Band) yang di adakan setahun sekali di Istora Senayan, Jakarta. wahana dimana kelompok marching band ternama maupun anak baru di Indonesia bertanding dalam suatu kejuaraan nasional. Megah! Pikirmu.
bus-bus unit dan juga kontainer dihias dengan warna tema konser,
para pemain yang seperti pelangi berjalan karena kostumnya tengah melakukan pemanasan di luar gedung,
orang lalu lalang membeli merchandise marching band atau kerak telor,
ramai sekali, sekali lagi pikirmu.
kamu pun masuk ke dalam gedung istora senayan untuk mulai menonton pertunjukkan, kamu membeli tiket vip.
namun kamu berpikir, tiket vip tapi kok sesak sekali ya? lebih lowong di bagian seberang saya.
tapi kamu tak peduli, karena unit favoritmu akan segera tampil dengan tema yang berbeda dari biasanya.
pembawa acara memanggil nama unitmu, jika ada judul lagu atau apa yang berbahasa inggirs, dia mengucapkannya dengan... ah, bahkan kamu malu mendengarnya.
kru unit favoritmu bergerak cepat masuk ke lapangan, mengatur alat-alat besar seperti pit instrument dan memasang pin, properti besar jika ada.
akhirnya kru pun selesai mengatur lapangan, dan masuklah para pemain!
mereka berjalan tegap dengan dagu terangkat dan dada yang sengaja dibusungkan. riuh rendah penonton berteriak menyerukan nama unit, bahkan nama pemain--yang mereka kenal atau mereka sukai--
band favoritmu itu lalu memainkan lagu pemanasan, lagu dengan tempo pelan dan indah. penonton masih riuh rendah.
pemanasan pun selesai, kemudian field commander memberi hormat kepada juri tanda siap untuk memulai permainan,
and the show begins,
band favoritmu mengawali dengan musik yang menghentak dan nada" yang terasa sulit,
mereka bermanuver di lapangan display membentuk lingkaran, garis lurus, kadang alur, kadang juga berlari-lari.
mereka bahkan berakting, tersenyum, bertingkah konyol atau serius saat tidak bermain musik,
kadang meneriakkan yel!
penonton masih riuh rendah,
ada yang bertepuk tangan dan berdecak kagum,
ada yang makan dan minum,
ada orang tua yang menenangkan bayinya yang tengah menangis,
ada juga yang mengobrol tertawa-tawa
bahkan mengomentari, "woooooo!! jatoh tuh jatoh!" saat seorang pemain colour guard gagal dalam tossnya.
kadang juga ada yang komentar, "ah... ga lurus tuh!" "idih, langkahnya salah!" "yiahh... kebanyakan properti, duit negara mesti" "ih itu guardnya nyengir mulu, mending cakep"
dan sebagainya.
paket pun selesai dimainkan, pemain dalam posisi siap dan terengah puas.
mereka berpeluh dan basah penuh keringat, tapi mereka tak bisa menutupi senyum mereka.
mereka pun keluar lapangan dengan rapi diiringi tepuk tangan penonton, yang kadang hanya tepuk tangan asal.
kamu pun tahu, di luar ruangan unit favoritmu tengah berloncatan, menangis, berpelukan, meneriakkan yel, dan berbagi kebahagiaan.
indah?
tapi.......
ternyata tidak sampai disitu....

selesai GPMB, kamu membuka satu website yang mengadakan kolom komentar atas GPMB yang baru saja berlangsung.
kamu pun takjub,
terkadang komentar-komentar itu begitu jahat, kamu tahu itu jahat, padahal kamu bukan pemain,
banyak dari mereka mengomentari masalah dana, apalagi unit yg bermain dengan properti megah, atau paling tidak memiliki contra bass(contra tuba).
sebagian lagi mengomentari, "maen apaan tuh, akga ada seru-serunya! gue ga merinding! masa kaya gitu jadi juara! standar banget!"
atau, "GPMB apa lomba banyak-banyakan properti, panggung dangdut dibawa-bawa, contoh dong amrik, DCI!"
bahkan, komentar yang kamu pikir ditulis oleh pemain GPMB pun tak kalah pedasnya,
"tau apa lo tentang musik?! emang selera indonesia tuh rendahan demennya yang megah-megah!"
"bagus dong pemerintah gue ngeluarin uang negara buat kegiatan pemudanya, justru itu kepedulian mereka sama anak muda!"
dan juga....
"gimana sih penyelenggara GPMB, beli tiket VIP tapi fasilitas kok kaya kereta ekonomi?"
dan seterusnya, hingga kamu ketawa garing.
yah.... bagaimanapun unit favoritku tadi bermain bagus, pikirmu.

.................................


gue adalah seorang musisi, juga penikmat musik--yang kurang update--. gue juga pemain marching band(drum corps) di satu unit papan atas di Indonesia, hehe. gue juga pernah main dua kali di GPMB, alhamdulillah. tapi gue bukan pemain orkestra, itu baru cita-cita... tapi "mendekati" orkestra sudah pernah.
menurut gue, ga ada yang lebih baik di antara MB ataupun orkestra.
juga ga ada yang lebih buruk di antara MB atau orkestra.
ini hanya merupakan curhatan kecil dan ungkapan keprihatinan gue sebagai pemain dan penikmat musik.
curhat dikit ya....
dulu waktu gue suka-sukanya banget sama musik klasik, gue pernah main di suatu resital piano(gue pemain piano) dan ensemble.
di ensemble itu, gue jadi semacam "ketua" di tim gue, soalnya gue jadi pemain piano pengiring junior-junior gue yang masih kecil banget itu.
mereka main electone, piano, bahkan juga ada yang main triangle.
pokoknya mereka imut banget deh, ada juga yang masih TK.
tapi latihan di balik itu.............
mereka itu lebih suka bermain, kalo latihan serius dikit aja langsung capek, kadang nangis minta pulang, kadang rewel "mau sama mbaaak ajaa"
duh, keselnya...
tapi ngeliat tingkah mereka di waktu istirahat jadi obat capek juga. mereka teriak-teriak kesenenangan, ketawa-ketawa, gue juga dipanggil "cici" sama mereka(soalnya mereka semua chinese gitu).
selesai konser, i got a "fuahh...." over it. berat banget rasanya.
ternyata, gue dikasih satu kesenangan lagi, hehe....
cici pengajar piano gue punya satu acara, pokoknya kaya syukuran gitu, gue diminta main piano(solo) disana.
namanya gue masih polos, cinta banget sama musik, ga dibayar dan main di acara apapun gue mau.
pas disana....
gue main dua(apa tiga ya?) lagunya richard clayderman.
saat gue main, orang-orang itu ga ada yang nonton gue sama sekali.
mereka makan, minum, ngobrol, ketawa-tawa,
gue bukan jadi artis disana.
gue jadi RADIO.
selesai perform, mereka baru tepuk tangan dan ngasih senyum. abis itu udah.
antara kesel, sedih, marah, mau nangis bercampur jadi satu.
yang gue tahu, bahkan violinist sekelas Maylaffayza pun ga pernah mau main biola di tengah satu acara, makan-makan misalnya. dia mau saat dia main musik, mata semua orang itu tertuju padanya, karena dia musisi, bukan radio.
tapi gue bukan maylaffayza, gue bukan pro, gue cuma seorang anak kecil yang cinta musik.
beberapa hari setelah itu, cici gue nanya gimana permainan kemarin?
gue curhat dong tentang segala yang gue rasain.
atas semua konser, resital, dan sebagainya dimana penonton gak boleh tepuk tangan sebelum gue selesai, dimana gak boleh ada hp bunyi di gedung konser, dimana harus tenang
eh di penampilan kemarin, gue main cuma buat ngedampingin orang makan.
cici gue minta maaf sejadi-jadinya dan berjanji gak akan minta gue main lagi di acara semacam itu.
dia minta maaf sejadi-jadinya seakan dia bukan guru dan gue bukan muridnya.

beberapa tahun pun berlalu sampai gue main di suatu unit marching band, unit divisi umum gue yang pertama.
dan penampilan GPMB gue yang pertama.
disana, gue ngerasa jadi ARTIS yang sesungguhnya.
latihan keras, sampai nginep, diomelin, diledekin, main di tengah terik matahari, kadang malah hujan,
latihan 12 bulan,
hanya untuk 12 menit.
dan saat kita main, orang-orang yg nonton itu pada lagi makan lah, smsan lah, ngobrol lah.
bahkan kadang mereka hanya tepuk tangan kalau:
1. lagunya mereka tau
2. unitnya favorit mereka
3. bagian lagu sedang forte(se-forte-fortenya baru tepuk tangan)
abis itu ya udah.
tapi kadang gue mikir juga sih, berarti mereka cuma tepuk tangan kalau permainan kita bagus.
tapi ternyata enggak,
seringkali mereka hanya ngasih penghargaan(tepuk tangan, komentar, dsb.) kalo lagunya populer atau properti yang dipakai megah.
cobaan pemain marching band itu banyak banget,
mereka lah artis sesungguhnya.
terutama untuk band-band kurang duit atau band universitas(ehem),
mereka berjuang tampil ngasih yang terbaik di tengah keterbatasan dana.
puter otak gimana caranya bikin paket yang menghibur, jadi juara tapi dengan sedikit dana.
karena itu gak heran banyak pemain MB jadi pemain di orkestra, bahkan jadi pemain inti.
kebanyakan pemain orksetra adalah pro di bidangnya, dan pemain MB sudah melalu gunung berbatu, lautan api(yah gak gitu juga sih) demi kecintaan mereka terhadap musiknya.
lagi, inti tulisan gue bukanlah bilang orkestra lebih baik, atau MB lebih baik.
gue harap,
penghargaan stake holder atas musik itu gak semena-mena.
apa karena orkestra dinilai musik berkelas?
padahal alat MB juga gak murah lho... satu tuba jupiter bisa ditukar sama satu motor ninja *jduak*
nonton orkestra pun udah gak semahal dulu lagi,
tapi kenapa dalam penyelenggaraan GPMB, penonton VIP pun harus berdesak-desakan dan seperti bukan beli tiket VIP?
yang nonton gak pake tiket? banyaaaak.... :)
semoga penghargaan teman-teman terhadap musik juga begitu,
menurut gue selera orang beda-beda, dan there's no such thing like "selera rendahan" for me,
seperti kata sepupu gue: hanya orang bodoh yang memperdebatkan selera *giggle*
musik itu dpersembahkan dengan segenap cinta dari pemainnya, penggubahnya, dan arrangernya.
jadi, tolong hargailah musik dengan paling tidak memperhatikan kami saat bermain,
tepuk tangan itu pilihan. jika memang kami bermain bagus, kami akan sangat membuka hati untuk tepuk tangan kalian,
jika tidak.... yaaah... :p
dengan semakin menghargai musik, pemain-arranger-composer pun akan lebih semangat dan lebih baik dalam berkarya
kemajuan suatu negara dinilai dari aspek seni-budaya nya juga lho,
jadi,
ayo nonton orkestra dan marching band! *lho?*

with love,
FFA

Comments

Popular posts from this blog

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 1/3)

Sebelum memulai utas (thread) ini mungkin ada baiknya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama (kalau di gunung) saya Janis, saya alumna Fakultas Ekonomika dan Bisnis - Universitas Gadjah Mada jurusan Manajemen. Saya lulus tahun 2015 dan saat ini bekerja di satu institusi pemerintah pusat. Omong-omong saya orang Cancer, kalau memang mau tahu banget... kiri: teman penulis; kanan: penulis. Mohon diabaikan saja Blog ini sebetulnya sudah lama saya buat, kurang lebih tahun 2004 dan waktu itu saya masih kelas 7 SMP. Setelah menulis berbagai entri yang tidak bertema dan kebanyakan hanya cuap-cuap sekenanya saja (itu pun jarang), tahun ini setelah menerima pengumuman bahwa saya "resmi" menjadi principle candidate untuk beasiswa Fulbright, saya memutuskan untuk kembali menulis di blog ini dan mendedikasikannya untuk para pencari beasiswa S2 di Amerika Serikat khususnya melalui beasiswa Fulbright. Kasih selamat boleh dong... Nama Fulbright sendiri sebetulnya adalah nama dari

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 2/3)

Yayy... Saya kembali lagi! Laman ini adalah lanjutan dari blog post sebelumnya, silakan klik di sini. Berdasarkan surel yang saya terima dari AMINEF pada tanggal 3 April 2017, jadwal wawancara saya adalah tanggal 20 April 2017. Nah... Ternyata ada waktu selama 17 hari untuk mempersiapkan diri, masa yang saya rasa sangat cukup untuk bersiap-siap. Apa saja yang saya lakukan untuk mempersiapkan diri? Tentu bermacam-macam, tapi yang utama dan sangat mudah ditebak a la kids jaman now tentu saja berselancar di internet! Terdapat beberapa laman blog para Fulbrighters yang sangat membantu saya untuk mempersiapkan diri selama wawancara, tapi yang paling komprehensif dan (sepertinya) paling banyak diakses adalah laman blog Comatosed Thoughts milik Kak Nanda. Kelak di kemudian hari saya baru tahu kalau ternyata Kak Nanda adalah mentor dari salah satu sahabat saya sesama kandidat penerima beasiswa Fulbright (mentor-mentoran ini akan saya bahas di utas selanjutnya). Terima kasih Kak Nanda...
aku berkata padanya, "kejarlah mimpimu sampai ke ujung dunia, jangan pedulikan aku. karena aku pun akan mengejar mimpiku sendiri," aku tak tahu hal apa lagi yang akan aneh setelah perpisahan, putus yang direncanakan. aku hanya ingin berpikir logis, realistis, penuh pengharapan dan keyakinan bahwa kami akan meraih cita-cita kami masing-masing, dan kami tak ingin disaat cita-cita itu telah tercapai, kami belum mendapat apa-apa. belum merasakan apa-apa. dia bercerita kepadaku, tentang detik yang mati, "selama ini detik berjalan,maju ke depan. tanpa kembali ke belakang, hal-hal yang ditinggal hanya bisa dilihat kembali, tidak bisa diulang lagi," aku hanya bisa menatap senja hari dan berkonspirasi dengan rumput yang bergoyang, bertanya siapakah yang tengah duduk di buaian bulan sesungguhnya. ah, aku teringat saat-saat kami meracau tentang dunia, dengan sombong membuat filsafat sendiri tentang semesta, kami menertawakan kebodohan kami, dengan bangga mengakui bahwa kami ma