Skip to main content

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 2/3)

Yayy... Saya kembali lagi! Laman ini adalah lanjutan dari blog post sebelumnya, silakan klik di sini.

Berdasarkan surel yang saya terima dari AMINEF pada tanggal 3 April 2017, jadwal wawancara saya adalah tanggal 20 April 2017. Nah... Ternyata ada waktu selama 17 hari untuk mempersiapkan diri, masa yang saya rasa sangat cukup untuk bersiap-siap. Apa saja yang saya lakukan untuk mempersiapkan diri? Tentu bermacam-macam, tapi yang utama dan sangat mudah ditebak a la kids jaman now tentu saja berselancar di internet! Terdapat beberapa laman blog para Fulbrighters yang sangat membantu saya untuk mempersiapkan diri selama wawancara, tapi yang paling komprehensif dan (sepertinya) paling banyak diakses adalah laman blog Comatosed Thoughts milik Kak Nanda. Kelak di kemudian hari saya baru tahu kalau ternyata Kak Nanda adalah mentor dari salah satu sahabat saya sesama kandidat penerima beasiswa Fulbright (mentor-mentoran ini akan saya bahas di utas selanjutnya). Terima kasih Kak Nanda...

Berdasarkan bocoran dan tips dari blog yang saya baca, saya mulai bisa membayangkan pertanyaan yang akan muncul saat wawancara--selain tentu seperti apa suasana wawancaranya kelak. Kebanyakan dari mereka (para pejuang beasiswa yang sudah malang melintang di dunia interview-interviewan) mengatakan bahwa wawancara beasiswa Fulbright sangat objektif dan terasa nyaman--hampir tidak ada bantai-membantai atau adu argumen yang menaikkan tensi. Namun justru itu tantangannya... Saking nyamannya kita mengobrol dengan panelis, kita pun jadi tidak bisa menebak apakah kita lulus atau tidak--setidaknya begitulah menurut mereka.

Selain menerapkan tips yang saya dapatkan dari blog tersebut, saya juga banyak berkonsultasi pada Iztirani--seorang kawan yang banyak saya singgung di bagian blog sebelumnya. Iztirani yang sudah pernah mengikuti wawancara beasiswa pemerintah yang terkenal ini memberikan sederet daftar pertanyaan yang menurut saya tidak masuk akal, tapi ternyata ditanyakan oleh panelis! Pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal itu antara lain:

1. Anda sudah menikah? Sudah punya pacar? Kalau sudah, apakah Anda yakin bisa bertahan dengan pasangan Anda? Hubungan jarak jauh itu sulit lho... (asli gak penting)

2. Ada banyak orang yang lebih berbakat dari Anda, mengapa kami harus memilih Anda? Biaya kuliah di Amerika Serikat itu tidak murah; biaya untuk menguliahkan satu orang di AS bisa setara dengan menguliahkan 3 orang di negara lain (pertanyaan ini sebetulnya masuk akal, tapi apa iya harus sesinis itu?) 3. Anda sepertinya agak kemayu ya (ini memang bukan pertanyaan, tapi komentar seperti ini menurut saya tidak pantas dan salah satu teman saya betul-betul pernah dikomentari seperti ini oleh panelis) serta berbagai perntanyaan lain yang membuat saya mengernyitkan dahi... Apa mungkin saya nanti akan ditanyai pertanyaan-pertanyaan aneh seperti itu?

Setelah manggut-manggut bingung atas hasil konsultasi tersebut, saya pun tergerak untuk menanyakan kepada Ben Steiner (another best friend I mentioned on the previous post) tentang kemungkinan diajukannya pertanyaan seperti di atas. Jawabannya? A big no. Menurut Ben, Amerika Serikat sangat menjunjung tinggi privasi orang dan pertanyaan tersebut dipandang diskriminatif serta tidak layak untuk diajukan di dalam wawancara resmi. Walaupun begitu, saya tetap menulis juga pertanyaan itu dan merancang jawaban yang kira-kira diplomatis tetapi tetap personal dan khas saya....

Untuk membantu saya mengingat pertanyaan dan jawaban yang saya rancang tersebut, saya membuat alat bantu berupa flash card untuk saya gunakan sebagai latihan. Saya menggunakan aplikasi PowerPoint dan di setiap slidenya saya mengetikkan satu pertanyaan beserta rancangan jawaban--total kurang lebih ada 20 laman PowerPoint, semua itu didasarkan dari tips dan bocoran pertanyaan yang saya dapatkan via blog serta cerita-cerita Iztirani. Laman PowerPoint tersebut kemudian saya cetak (4 laman di atas selembar kertas) dan saya tempel di atas guntingan kertas karton. Hasil akhirnya seperti ini:
(Sudah rapi belum?)

Setiap hari selama kurang lebih 2 minggu, saya mengacak kartu tersebut dan menghapalkan jawabannya. Menggunakan flash card ini bisa lebih seru kalau bareng teman lho... Biasanya saat jam istirahat, saya meminta teman di kantor untuk mengacak kartu dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada saya. Kadang-kadang mereka bergaya seperti panelis dan mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh, hal ini tentunya mereka lakukan agar suasana wawancara terasa lebih nyata (selain tentu sekaligus ngerjain saya). Terima kasih ya teman-teman!

Hari wawancara pun tiba, saya menggunakan setelan resmi yaitu blus putih dengan blazer hitam serta rok warna gelap. Saat itu saya menggunakan sepatu berhak rendah.
(Fingers crossed!)

(Swafoto sembari menunggu giliran wawancara... Nampak bendera AS bersisian dengan bendera merah putih, Indonesia!)

Semasa menunggu giliran saya tiba, saya berkenalan dengan beberapa kandidat yang ternyata hampir semuanya mengincar jurusan yang sama (ranah Public Policy atau Public Administration) juga sama-sama berasal dari instansi pemerintah pusat! Ada Kementerian X, Kementerian Y, Kementerian Z... Sepertinya tanggal wawancara dicocokkan dengan latarbelakang profesi atau jurusan yang diharapkan, pikir saya kala itu. Saya juga sempat bertemu dengan salah satu teman kuliah, tetapi sayang dia tidak lulus tahap wawancara. Berdasarkan kabar yang saya dengar, saat ini dia tengah berusaha untuk mendapatkan beasiswa S2 dari institusi lain, saya harap dia berhasil dan mendapatkan beasiswa yang diinginkannya.

Akhirnya tibalah giliran saya! Sebelum masuk ke ruang wawancara, terlebih dahulu saya diminta untuk menunggu di ruang depan wawancara untuk diberi arahan mengenai apa saja yang kira-kira akan ditanyakan dan berapa lama waktu wawancara. Saya juga diberi informasi mengenai kemungkinan jumlah peserta yang diterima. Menurut staf AMINEF saat itu, biasanya akan diambil kurang lebih 3-4 orang principal candidate serta 2 orang alternate candidate untuk setiap sesi wawancara. Jumlah tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyataan saya saat ini. Mengapa? Setelah dinyatakan diterima sebagai kandidat penerima beasiswa Fulbright (Baik principal maupun alternate), kami para kandidat membuat grup obrolan Whatsapp dan sempat bertemu beberapa kali saat tes iBT dan GRE--hingga saat ini saya belum menemukan seorang pun kandidat yang tanggal wawancaranya berbarengan dengan saya. Namun saya rasa tidak mungkin jika hanya saya satu-satunya kandidat yang diterima dari jadwal wawancara 20 April tersebut. Saya yakin pasti ada kandidat lain, tapi dia mungkin belum bergabung ke dalam grup obrolan kami :D

Setelah menunggu kurang lebih 20 menit, saya masuk ke ruang wawancara. Di dalam ada Pak Alan Feinsten, seorang WNA Amerika Serikat yang juga Direktur Eksekutif AMINEF serta panelis sesungguhnya yaitu 3 orang pewawancara yang berasal dari latarbelakang pendidikan. Terdapat 2 orang WNI (1 dosen perempuan dan 1 dosen laki-laki) serta seorang WNA Amerika Serikat. Sebelum wawancara dimulai, saya diminta untuk memperkenalkan diri--mengenai nama, asal, latar belakang pendidikan dan organisasi serta kegiatan/pekerjaan saya saat ini. Menurut saya, sesi wawancara berjalan cukup seru dan cair--saya bahkan sempat tertawa-tawa. Apa yang saya baca di blog penerima beasiswa Fulbright ternyata benar adanya, wawancara Fulbright sangat santai tapi objektif, tidak menyisakan pertanyaan remeh-temeh yang melanggar privasi pribadi. Pertanyaan yang banyak diajukan kepada saya sebetulnya tidak sulit, sebab semua sudah saya ceritakan di dalam Study Objectives dan riwayat hidup saya. Ini tips penting bagi teman-teman yang berencana untuk meraih beasiswa Fulbright: pahami betul-betulstudy objectives dan riwayat hidup Anda , baca berkali-kali dan buatlah skenario pertanyaan yang kira-kira akan diajukan berdasarkan data yang sudah kita sajikan dalam esai dan dokumen lainnya. Gunakan flash card sebagai alat bantu dan saya jamin, Anda akan lebih siap!

Hal yang sebetulnya agak di luar dugaan saya sebetulnya pertanyaan mengenai organisasi dan kegiatan kerelawanan. Berdasarkan pengalaman saya saat itu, saya lebih banyak ditanyai soal kegiatan organisasi daripada pekerjaan saya sehari-harinya. Saya juga ditanyai mengenai keterkaitan antara organisasi yang saya ikuti dengan pekerjaan saya, pertanyaan yang untungnya sudah saya siapkan di flash card saya!. Selain menyampaikan konsep jawaban yang sudah saya rancang, saya juga menjawab beberapa pertanyaan secara impromptu--hal yang sebetulnya tidak disengaja, sebab sebab sesi wawancara betul-betul terasa santai sampai rasanya seperti mengobrol biasa saja!

Setelah kurang lebih 25 menit berlalu, sesi wawancara pun berakhir. Saya diberi info mengenai perkiraan waktu pengumuman dan langkah-langkah yang harus saya lakukan selanjutnya jika saya telah dinyatakan diterima dalam program beasiswa ini. Setelah menyalami Pak Alan dan para panelis, saya pun keluar ruangan wawancara, turun ke lobby Gedung Intiland (gedung tempat AMINEF bernaung) dan naik taksi untuk... kembali ke kantor, kerja kerja kerja xD !!

--------------------

Menunggu pengumuman wawancara ternyata lebih menegangkan daripada menunggu pengumuman seleksi tahap awal, tentu saja. Saat wawancara, saya diberitahu bahwa surel berisi pengumuman akan dikirim kira-kira akhir bulan Mei tapi ternyata sampai pertengahan bulan Juni pun saya belum menerima surel tersebut. Saya yang begitu galau saat itu mengirim surel kepada AMINEF dan menanyakan nasib saya (lol) yang dijawab bahwa keputusan penerimaan beasiswa baru akan tiba sekitar 2-3 minggu lagi.

Dan ternyata benar! Surel itu datang pada tanggal 21 Juni 2017!
(Saya diterima menjadi kandidat cadangan beasiswa Fulbright!)

Saya lupa kapan dan di mana saya menerima surel tersebut, tapi yang jelas senangnya tentu tak terkira! Sayangnya, rasa senang ini pun dibarengi dengan perasaan galau.... Bagaimana tidak? Sebagai kandidat cadangan, saya belum pasti diberangkatkan ke Amerika Serikat. Walapun begitu, saya tetap optimis dan memikirkan hal-hal yang baik saja, pokoknya senang dulu deh, pikir saya saat itu. Setelah selesai dengan usaha untuk berpikir positif (hehe) saya membaca kelanjutan surel yang ternyata panjang sekali! Saya diminta untuk mengirimkan surat pernyataan menerima/tidak menerima beasiswa, mengirimkan dokumen kelengkapan berkas beasiswa, serta menyiapkan diri untuk mengikuti tes iBT dan GRE juga membuat akun Embark! Ternyata perjalanan saya belum berakhir, segala tugas-tugas ini baru permulaan saja! Baiklah Fulbright, aku siap!

--------------------------

Penasaran tentang apa itu Embark, iBT dan GRE? Penasaran tentang kelanjutan nasib saya sebagai kandidat cadangan?

Nantikan episode selanjutnya dari perjalanan saya, terima kasih telah mampir dan membaca!

Disclaimer: This blog is not an official U.S. Department of State blog, all views and information presented here regarding the Fulbright Program are the author's own and does not represent the Fulbright Program nor the U.S. Department of State.

Comments

rian said…
Mantap Neng Dilla. Lanjutkan ceritanyaaa
ditunggu part 3 nya.
Unknown said…
looking forward to reading the last piece of this overwhelming story mba dilla :D

Popular posts from this blog

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 1/3)

Sebelum memulai utas (thread) ini mungkin ada baiknya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama (kalau di gunung) saya Janis, saya alumna Fakultas Ekonomika dan Bisnis - Universitas Gadjah Mada jurusan Manajemen. Saya lulus tahun 2015 dan saat ini bekerja di satu institusi pemerintah pusat. Omong-omong saya orang Cancer, kalau memang mau tahu banget... kiri: teman penulis; kanan: penulis. Mohon diabaikan saja Blog ini sebetulnya sudah lama saya buat, kurang lebih tahun 2004 dan waktu itu saya masih kelas 7 SMP. Setelah menulis berbagai entri yang tidak bertema dan kebanyakan hanya cuap-cuap sekenanya saja (itu pun jarang), tahun ini setelah menerima pengumuman bahwa saya "resmi" menjadi principle candidate untuk beasiswa Fulbright, saya memutuskan untuk kembali menulis di blog ini dan mendedikasikannya untuk para pencari beasiswa S2 di Amerika Serikat khususnya melalui beasiswa Fulbright. Kasih selamat boleh dong... Nama Fulbright sendiri sebetulnya adalah nama dari
aku berkata padanya, "kejarlah mimpimu sampai ke ujung dunia, jangan pedulikan aku. karena aku pun akan mengejar mimpiku sendiri," aku tak tahu hal apa lagi yang akan aneh setelah perpisahan, putus yang direncanakan. aku hanya ingin berpikir logis, realistis, penuh pengharapan dan keyakinan bahwa kami akan meraih cita-cita kami masing-masing, dan kami tak ingin disaat cita-cita itu telah tercapai, kami belum mendapat apa-apa. belum merasakan apa-apa. dia bercerita kepadaku, tentang detik yang mati, "selama ini detik berjalan,maju ke depan. tanpa kembali ke belakang, hal-hal yang ditinggal hanya bisa dilihat kembali, tidak bisa diulang lagi," aku hanya bisa menatap senja hari dan berkonspirasi dengan rumput yang bergoyang, bertanya siapakah yang tengah duduk di buaian bulan sesungguhnya. ah, aku teringat saat-saat kami meracau tentang dunia, dengan sombong membuat filsafat sendiri tentang semesta, kami menertawakan kebodohan kami, dengan bangga mengakui bahwa kami ma