Dalam setiap
hidangan yang kita makan, ada begitu banyak pengorbanan. Banyak agama dan
kebudayaan memiliki tata caranya sendiri untuk memulai dan mengakhiri proses
makan, menghidangkan makanan, mempersiapkan makanan, hingga menutup acara makan
itu sendiri. Doa-doa dipanjatkan, kalimat syukur diutarakan, untuk suatu
kegiatan sederhana yang bertujuan agar kita tetap mampu hidup dan menghidupi.
Kegiatan yang di
zaman serba cepat ini terasa begitu nonsens, untuk apa berlama-lama memulai dan
mengakhiri sementara proses utamanya sendiri saja bisa jadi lebih cepat
daripada mengawali dan mengakhiri? Orang-orang makan sambil berjalan,
rumah-rumah makan memasak hidangannya dengan amat cepat dan dengan porsi besar,
hidangan yang dibuat untuk sekadar memuaskan rasa lapar dan ego manusia akan
rasa.
Rasulullah SAW
dalam hadistnya pernah berkata, “Makanlah sekadar untuk menegakkan punggung”,
“Makanlah dengan tangan, dengan tiga jarimu”, dan yang paling terkenal
“Mulailah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang”. Dalam kebudayaan
Jepang, makan sambil berjalan dianggap tidak sopan dan melanggar norma
masyarakat; meskipun hal ini semakin luntur seiring dengan semakin
berkembangnya restoran cepat saji. Saya rasa di Indonesia pun terjadi hal yang
sama: penghargaan yang luntur akibat industri.
Bukanlah suatu
ketidaksengajaan atau niat untuk memperlambat proses sederhana bernama makan.
Namun, makna yang lebih besar dan mungkin akan membawa kita pada suatu tahap
yang lebih tinggi yaitu memahami kehidupan, terkandung dalam segala norma,
hadist, sutra dan kearifan lokal. Islam yang mengajarkan untuk mengucapkan nama
Tuhan ketika menyembelih hewan kurban, bertujuan agar manusia senantiasa
mengingat bahwa ia telah menumpahkan darah makhluk hidup hanya untuk “bertemu”
Tuhannya dan membagi kebahagiaan bersama mereka orang di pinggiran. Orang
katolik yang begitu khusyuk dalam doanya untuk memulai dan mengakhiri proses
makan, menandakan bahwa mereka sejak kecil telah diajari untuk menghargai
setiap suap rezeki dari pengorbanan dan kerja keras yang kini tersaji di atas
sepiring nasi. Sedekah bumi dan gerebeg maulud, mengajarkan kita untuk
berterimakasih kepada alam dan semesta atas nikmat yang tiada tara dengan
berbagi sukacita dan berkumpul untuk bersyukur bersama.
Namun,
penghargaan dan rasa syukur ini terkadang harus kita gadaikan untuk membeli
sesuatu yang bernama kepraktisan dan kemewahan. Ribuan ayam yang digemukkan dan
disembelih sebelum cukup umurnya, sapi yang diberi arak untuk memuaskan rasa
ingin tahu manusia akan daging yang lembut, hiu yang diambil siripnya hanya
untuk memenuhi prestise. Belum
terhitung luwak-luwak yang dipindahkan dari hutan dan dijejali kopi –bukan
memilih kopinya sendiri—hanya untuk memuaskan hasrat bernama kopi enak.
Akankah
kemewahan itu mampu menjawab semuanya?
Akankah rasa
kenyang yang luar biasa mampu menghapus sedihmu?
Akankah
kecepatan telah mampu membeli kebersamaan dan penghargaan?
Maka ingatlah,
di setiap daging yang kita makan, kita telah menumpahkan darah makhluk hidup
hanya untuk bertahan hidup. Kita memisahkan anak-anak bakal hidangan kita dari
induk mereka untuk dijagal—agar kita tak perlu berlapar-lapar.
Di setiap butir
nasi yang kita makan, terselip peluh dan kebimbangan para petani karena beras
dari negeri seberang kini lebih laku dari beras negeri sendiri. Namun, mereka
tetap berjuang di bawah terik sang surya agar kita tak kekurangan nasi dan
menyalahkan pemerintah jika kelak hal itu terjadi.
Bersyukurlah
atas setiap suap dan tegukan. Gembiralah akan rasa dan kebersamaan.
Melambatlah, tunggulah, atas suatu hal yang mungkin akan membawamu pada
kemengertian akan kehidupan. Atas suatu hal sederhana bernama makanan.
yogyakarta, sedang sering hujan 2013
Comments