Skip to main content
aku berkata padanya, "kejarlah mimpimu sampai ke ujung dunia,
jangan pedulikan aku.
karena aku pun akan mengejar mimpiku sendiri,"

aku tak tahu hal apa lagi yang akan aneh setelah perpisahan, putus yang direncanakan. aku hanya ingin berpikir logis, realistis, penuh pengharapan dan keyakinan bahwa kami akan meraih cita-cita kami masing-masing, dan kami tak ingin disaat cita-cita itu telah tercapai, kami belum mendapat apa-apa. belum merasakan apa-apa.

dia bercerita kepadaku, tentang detik yang mati,
"selama ini detik berjalan,maju ke depan. tanpa kembali ke belakang, hal-hal yang ditinggal hanya bisa dilihat kembali, tidak bisa diulang lagi,"

aku hanya bisa menatap senja hari dan berkonspirasi dengan rumput yang bergoyang, bertanya siapakah yang tengah duduk di buaian bulan sesungguhnya. ah, aku teringat saat-saat kami meracau tentang dunia, dengan sombong membuat filsafat sendiri tentang semesta, kami menertawakan kebodohan kami, dengan bangga mengakui bahwa kami masih muda, akan terus bersama dan memungkiri bahwa tak lama lagi kami akan berpisah. satu jiwa yang utuh akan dipisahkan oleh sesuatu yang agung bernama cita-cita.
aku pun kembali berkonspirasi, meracau bahwa kamilah yang sesungguhnya tergambar duduk di muka candra.

dia kembali bercerita, masih tentang detik yang mati. aku masih terpaku.
"tak bisa kumengerti kenapa detik bisa mati. yang kutahu,dibalik kematian detik itu adalah suatu awal. kekekalan abadi yang tak bisa dihindari eksistensinya,"
apabila perpisahan kami adalah suatu awal? dimanakah awal itu akan bermula dan kemana akhirnya dia akan bermuara? aku masih bingung. aku bingung, dan aku tak ingin tahu. aku hanya belum siap berpisah dengannya.

aku selalu berkata kepadanya untuk terus mengejar impiannya tanpa mempedulikan aku, namun realita bahwa aku membutuhkannya terus menampar diriku ke sudut maya. membuat lenganku menarik raga yang tersungkur untuk kemudian memeluk diri sendiri dan menyadari bahwa aku membutuhkan dirinya.

aku tak peduli berapa banyak senja yang aku habiskan bersamanya, hanya duduk diam dengan mata terpejam dan merasakan angin senja yang seolah berkata walau hidup ini bagaimanapun tak bisa sempurna, namun merasakan napasmu yang lembut mengendur di sebelahku, aku yakin bahwa hidup ini akan tetap indah dengan perspektif yang bisa kubuat sendiri.

aku kembali tak peduli, berapa banyak teori, konspirasi, filsafat, kutipan, bahkan racauan dari dirimu dan diriku yang mungkin suatu saat akan mengembun dan menjadi awan sejarah yang kemudian luluh tersapu angin dan kembali menguap menjadi cerita lagi. aku tak peduli.
dalam detik yang mati, saat hanya ada aku, bunyi kipas berputar dari komputer dan Dia sang pemberi cinta abadi, aku tak peduli, berapa banyak kata aneh, absurd, gila, apapun dan yang paling menyakitkan seperti tak akan bisa bertahan dialamatkan pada kami. aku tak peduli.
dalam jam waktuku, dialah detik yang bergerak, dia tak mati.

kini kembali kusadari, dalam detik yang mati-perspektif yang berbeda tentunya-
kita akan berpisah.
kita akan berpisah.
kau boleh menoleh sesekali, tapi janganlah berbalik. aku pun akan begitu. namun kau harus tahu, aku akan terbuka 1x24 jam untukmu, tentunya dengan perspektif waktuku sendiri. kau boleh datang disaat aku tidak sedang sembahyang, mandi, tidur, makan. rata-rata aku bisa mandi 30 menit, makan lima belas menit, hitunglah sisanya. kelak kau akan temukan hitungannya menjadi 80.300, 3333 sekon dan seterusnya silakan kamu hitung sendiri. itulah jumlah detik yang bisa kau gunakan untuk datang kepadaku.
aku hanya ingin berpikir secara logis dan mencoba matematis. karena aku tahu seseorang sepertimu tak bisa dicintai hanya atas dasar kebutaan semata. aku ingin mencintaimu dengan sedikit rasio yang aku miliki walau pada akhirnya aku tahu aku hanya seorang sok tahu yang mencoba berhitung dan mencintaimu seperti orang gila.

aku belum pernah bosan mengetik dan menulis untukmu
hal-hal remeh seperti,
"aku rindu"
"aku menyayangimu," dan
"bisakah kita kembali bertemu?"
sampai tiga kali bahkan lebih dalam hitungan hari. karena aku tahu, aku sadar, tanpa bertanya pun aku tahu kita pasti akan bertemu walau sedikit telat jika tak ada dering yang berasal dari kantong, aku tahu kau rindu padaku bagai sakit, dna aku tahu kau masih menyayangiku.
aku tahu, namun aku tak pernah bosan.

kini sang detik mati menjambak rambutku kasar, aku digiringnya menuju dunia fakta. ya fakta bahwa kami berdua akan berpisah. kini aku kembali mengetik kata "kangen" padanya.

di suatu saat nanti,
aku yakin.
kembali dalam detik yang mati, aku mengetik untukmu
"aku rindu,
sangat..."

aku tertawa, kencang. dan aku akan terus menjadikan itu sebagai sebuah satir. karena aku tahu aku tak akan dapat segera bertemu dengannya dan melihat lampu kota usang yang mati-redup namun menyimpan keindahan sendiri, aku tahu dia tak akan lagi terburu-buru menemui aku meski masih berseragam putih abu-abu, aku tahu kami tak dapat segera mengulum senyum di hadapan masing-masing mata, untuk saling meyakinkan aku, dia. masih ada untuk masing-masing jiwa.
tak dapat segera.
mungkin untuk waktu yang lama, bisa juga tak akan selamanya.

kembali, dalam detik yang mati,
aku mencoba untuk meraih tangannya yang dingin, yang selalu lebih besar dari tanganku,
namun selalu, hatinyalah yang tergenggam olehku.
hatinya yang dipenuhi ruang luas, terbuka untukku kapan saja. dalam dimensi ruang dan waktu yang dibuat olehnya sejauh horison yang bisa kau temukan dalam ujung dunia, yang paling ujung.

detik yang mati kini mencekik leherku yang sedari tadi hanya membuat getaran untuk disampaikan kepada lidah melafalkan tiga suku kata,
"mar-chi-o"
dia membuatku tersadar.
berapapun rencana yang kususun, sesempurna apapun agenda yang kebuat, skenario, denah, daftar makanan, tempat jalan-jalan, dan susunan acara yang kubuat untuk mempersiapkan perpisahanku dengannya.
aku akan selalu rindu.
rindu.
dan tertawa gila karena tak bisa segera bertemu.

detik yang mati kini menyalami aku, kami berbaikan. aku tersadar. kini aku sadar bagai orang tidur malam delapan jam. bahwa walau bagaimanapun kami berpisah, dia tak akan menjadi benda usang yang membusuk di hatiku lalu kemudian menjadi debu dan terhapus angin keras kehidupan.
tidak.

detik yang mati, aku berdoa.
tolong berikan dia jalan yang mulia,
maaf.
juga untuk aku, dan teman-temanku yang berjuang keras meraih cita-cita,
untuk mendapatkan jalan yang diberkahi, terang, mulia, baik, tentu diiringin restu orang tua dalam menggapai masa depan dan cita-cita.

aku kembali melihat bulan terang, yang di kanannya tergambar orion. dengan rigel dan betelgeuse yang paling terang.
aku bergurau kepadamu,
kitalah yang sesungguhnya menjahit di muka purnama itu.
bersama detik yang mati.

Comments

Popular posts from this blog

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 1/3)

Sebelum memulai utas (thread) ini mungkin ada baiknya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama (kalau di gunung) saya Janis, saya alumna Fakultas Ekonomika dan Bisnis - Universitas Gadjah Mada jurusan Manajemen. Saya lulus tahun 2015 dan saat ini bekerja di satu institusi pemerintah pusat. Omong-omong saya orang Cancer, kalau memang mau tahu banget... kiri: teman penulis; kanan: penulis. Mohon diabaikan saja Blog ini sebetulnya sudah lama saya buat, kurang lebih tahun 2004 dan waktu itu saya masih kelas 7 SMP. Setelah menulis berbagai entri yang tidak bertema dan kebanyakan hanya cuap-cuap sekenanya saja (itu pun jarang), tahun ini setelah menerima pengumuman bahwa saya "resmi" menjadi principle candidate untuk beasiswa Fulbright, saya memutuskan untuk kembali menulis di blog ini dan mendedikasikannya untuk para pencari beasiswa S2 di Amerika Serikat khususnya melalui beasiswa Fulbright. Kasih selamat boleh dong... Nama Fulbright sendiri sebetulnya adalah nama dari

Iseng-Iseng Niat: Perjalanan Menjadi Seorang Fulbrighter (Bagian 2/3)

Yayy... Saya kembali lagi! Laman ini adalah lanjutan dari blog post sebelumnya, silakan klik di sini. Berdasarkan surel yang saya terima dari AMINEF pada tanggal 3 April 2017, jadwal wawancara saya adalah tanggal 20 April 2017. Nah... Ternyata ada waktu selama 17 hari untuk mempersiapkan diri, masa yang saya rasa sangat cukup untuk bersiap-siap. Apa saja yang saya lakukan untuk mempersiapkan diri? Tentu bermacam-macam, tapi yang utama dan sangat mudah ditebak a la kids jaman now tentu saja berselancar di internet! Terdapat beberapa laman blog para Fulbrighters yang sangat membantu saya untuk mempersiapkan diri selama wawancara, tapi yang paling komprehensif dan (sepertinya) paling banyak diakses adalah laman blog Comatosed Thoughts milik Kak Nanda. Kelak di kemudian hari saya baru tahu kalau ternyata Kak Nanda adalah mentor dari salah satu sahabat saya sesama kandidat penerima beasiswa Fulbright (mentor-mentoran ini akan saya bahas di utas selanjutnya). Terima kasih Kak Nanda...